Selama ini, ternyata ibuku seorang 'Pembohong Besar'
::. Selama ini, ternyata ibuku seorang 'Pembohong Besar' .::.
________________________________________
Saat kecil, kumerasa aku adalah anak yang paling bahagia. Minta ini
dituruti, minta itu diberi… Kasih sayang ibu kepadaku juga begitu besar.
Tidak sampai ibu memarahiku, apalagi memukulku.
Namun saat usia
beranjak lima tahun, saat itu juga aku mulai mengenal bangku sekolah.
Bukan sekolah tepatnya, tapi bermain. Mengenal beberapa teman dan dua
orang dewasa yang selalu mengajari kami ditempat itu. Baru kutahu kalau
dua orang dewasa itu disebut ibu guru. Ibu masih saja setia dengan kasih
sayang yang diberikan padaku. Namun, kurasakan kasih sayang itu kian
luntur.
Ibu jadi sering memarahiku, atau bahkan tidak segan
mencubit bagian tubuhku ketika beliau memerintahkan sesuatu namun tidak
kuindahkan karena aku lebih asyik bermain. Aku sering menangis, dan
menganggap ibuku jahat. Belum lagi, saat aku terlibat pertengkaran
dengan seorang teman. Ibu tidak pernah membelaku, justru beliau
memarahiku. Tidak jarang kurasakan kebahagianku yang dulu telah hilang.
Kini aku merasa menjadi anak yang tidak dekat dengan kebahagian seiring
dengan perilaku ibu yang sering memarahiku dan tidak sesering dulu
menuruti permintaanku. Kenapa Tuhan… kini ibuku tidak sayang lagi
padaku…
Namun pengaduanku kepada Tuhan itu serta merta terjawab
saat kurasakan belaian lembut dikepalaku ketika aku tertidur setelah
sempat kurasakan kemarahan ibu sebelumnya. Apakah ibu menyesal karena
telah marah padaku?? Ah…dalam hati aku berkata damai, ‘ternyata ibu
masih sayang padaku!!’ Tapi apakah aku masih merasa menjadi anak yang
paling bahagia??
Saat usiaku mulai mengajakku untuk sedikit
berfikir, saat itu pula kusadari bahwa ibu telah mulai tidak jujur
padaku. Begitu banyak kebohongan yang ibu katakan…
Kondisi
ekonomi keluarga terpaksa mengajak kami untuk tidak dapat merasakan
kenikmatan berlebih dalam hal materi seperti orang-orang lain. Ketika
makan, sering kali ibu memberikan sekedar nasinya untukku. Seraya
memindahkan ke dalam piring kecilku, ibu berkata…”Makanlah nak, ibu
masih kenyang…” (KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA)
Suatu siang
terik, masih dibangku sekolah yang lebih kuanggap tempat bermain.
Kulihat ibu telah setia menungguiku dibawah pohon sawo. Saat kuhampiri,
kulihat peluh yang meleleh disekitar wajah ibu. Dengan cekatan ibu
menggendongku dalam perjalanan pulang. Kulihat, peluh semakin banyak
diwajah bahkan sekujur tubuh ibu. Saat aku minta turun untuk jalan
sendiri, ibu berkata…”ga usah nak,, ibu ga capek…” (KEBOHONGAN IBU YANG
KEDUA)
Masih kuingat saat malam mulai merayap, hujan lebat
menerpa pohon-pohon, hembusan angin menerpa dedaunan dan hawa dingin
mulai menusuk tulang. Kami berdua tidur diatas kasur kusam dan
berselimutkan kain tipis. Kurasakan ibu menyelimutiku dengan rapat. Saat
kulihat ibu tidak berselimut, ibu berkata…”cepat sgera tidur,,, ibu
tidak kedinginan…” (KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA)
Ketika telah
menduduki sekolah dasar, aku mengikuti upacara hari kemerdekaan di
lapangan sekolah. Kulihat ibu setia menunggu diantara ibu-ibu yang lain.
Ketika usai, kuhampiri ibu yang dengan senang hati menyambutku.
Diulurkannya kepadaku segelas es teh manis untuk segera kuminum. Aku
memang berpeluh, namun ibuku juga tidak kalah berpeluh. Setelah kuteguk
beberapa, kuulurkan kembali kepada ibu bermaksud menyuruhnya minum.
Namun sambil tersenyum ibu berkata, “Habiskan saja, ibu ga haus ko’…”
(KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT)
Pagi-pagi, kulihat ibu telah tiba
dari pasar. Dalam tas yang dijinjingnya, ibu keluarkan sebungkus ikan
basah yang dibeli tadi di pasar. Ibu beli ikan…aku senang bukan main.
Begitu juga ibu, kulihat senyumnya mengembang. Segera dimasaknya ikan
itu.
Begitu aku tiba dari sekolah, telah terhidang sepiring nasi
dengan sayur bayam dan sepotong ikan goreng. Dengan lahap aku
menyantapnya karena tidak sering aku merasakan seperti ini. Kuperhatikan
ibu makan disampingku hanya dengan sayur bayam dan sedikit sambal.
Ketika kuambilkan sepotong ikan dipiring, ibu menolak dan
mengembalikannya. Ibu meneruskan makan, dan demi melihatku yang
memandangnya beliau berucap, “Teruskan makanmu, ibu ga suka ikan…”
(KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA)
Saat ujian tiba, aku benar-benar
mempersiapkan semuanya. Aku tidak mau mengecewakan ibu yang telah tulus
atas semua yang diberikannya padaku selama ini. Aku belajar dan berdo’a
tak henti-hentinya supaya dapat lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke
tingkat selanjutnya. Tiba mata pelajaran matematika yang besok akan
diujikan, aku menambah porsi belajarku mengingat aku tidak terlalu mahir
dalam pelajaran ini. Hingga larut malam, ibu masih menemaniku. Setelah
lelah, akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi belajarku dan beranjak
tidur. Namun kulihat ibu pergi ke dapur dan menyiapkan kotak makan serta
perlengkapan lainnya untuk kubawa ke sekolah besok. Ketika akan
kubantu, ibu menjawab “Cepatlah tidur. Besok kamu akan ujian to, biar
ibu aja yang menyiapkan semuanya. Ibu tidak ngantuk…” (KEBOHONGAN IBU
YANG KEENAM)
Ujian usai, dan akan diadakan program study tour.
Semua teman menyambut dengan gembira. Saat kusampaikan hal ini kepada
ibu, kulihat ibu sedikit merenung. Aku tahu ibu tidak punya biaya untuk
itu. Beberapa malam berikutnya, disaat teman-temanku membicarakan soal
study tour aku tidak berani bicara soal itu pada ibu. Aku lebih memilih
diam, takut kalau menyakiti hati ibu. Namun ketika acara study tour
hampir tiba, ibu bicara padaku. “Kalau mau ikut, ikut aja. Tapi ibu ga
bisa memberi bekal lebih.” Kujawab, “Ga usah bu,, ga ikut juga ga
apa-apa kalau memang kita ga ada biaya.” Namun ibu menjawab dengan
lembut, “Tenang aja, ibu punya duit ko’…” (KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH)
ya Tuhan, hanya demi melihatku bahagia…
Penerimaan rapor usai.
Dengan bangga kubuka lembar demi lembar raporku untuk kutunjukkan pada
ibu. Tertera sebuah angka disana yang menunjukkan rankingku. Dengan
senyum gembira ibu memelukku hangat dan membelai kepalaku. Tidak sulit
memang menorehkan angka yang ada diraporku itu. Namun betapa sulitnya
untuk menggerakkan tangan seorang guru untuk kemudian membentuk angka
lurus dalam rapor. Ya, aku ranking satu bu… inilah hadiah untukmu.
Setelah pengorbananmu padaku. Do’amu dan nasehatmu senantiasa mengalir
tanpa kuminta. Bagai sebuah mata air yang mengalirkan airnya tanpa
mengharap air itu akan kembali pada sumbernya.
Setelah semua
kebohonganmu, sempat membuat hatiku trenyuh. Namun, itu jualah yang
membuat hatiku kuat dan semangat untuk bertekad. Aku tak tahu sudah
berapa ribu kebohongan serupa yang kau lontarkan selama ini. Selama
beberapa tahun belakangan ini. Kuyakin sudah sangat banyak. Dan sampai
kapan kau akan terus berbohong, aku tak tahu.
Setelah semua
yang kualami bersamamu, aku baru sadar. Memang benar…saat ini aku masih
menjadi anak yang paling bahagia. Sampai nanti…sampai nanti…
Aku mencintaimu Ibu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar